Bunyi Klakson dan Kemajuan Peradaban

No comments
Kalau Anda sering mengendarai kendaran bermotor pasti merasakan betapa bisingnya suara klakson di jalan-jalan raya di Surabaya. Bisa itu meminta jalan atau ketika lampu merah berganti hijau, pengemudi lain meminta Anda siap-siap tancap gas.

Bayangkan Anda menumpang mobil di jalan raya yang ramai dengan mata tertutup, Anda tidak tahu di negara mana. Kemudian hitung berapa sering Anda mendengar bunyi klakson. Jika jarang terdengar suara klakson, Anda bisa menduga, Anda tidak sedang di Surabaya, Malang atau Jakarta. Sebaliknya jika bising suara klakson mengganggu telinga Anda, Anda bisa menduga mungkin sedang di Philipina, di Amerika Latin, Afrika atau Indonesia. Mengapa begitu? Ya suara klakson adalah indikator lain yang bisa digunakan untuk mengukur kemajuan suatu masyarakat atau bangsa. Tidak berhubungan dengan ekonomi makro atau tingkat pendidikan. Tetapi berhubungan dengan budaya. Coba kita mau menghitung berapa banyak terdengar bunyi klakson selama di jalan di beberapa kota besar di dunia. Surabaya bisa dijadikan salah satu sampel. Hubungannya jelas, semakin sering terdengar klakson, semakin tidak maju masyarakat di tempat itu. Ini berhubungan dengan pandangan masyarakat terhadap fungsi klakson.

Di negara-negara maju orang membunyikan klakson hanya ketika dalam situasi emergency alias gawat. Ketika suatu mobil hendak menubruk mobil lain, maka klakson saatnya dipencet agar mobil yang hendak ditubruk minggir. Klakson dibunyikan ketika tiba-tiba seseorang nyelonong di jalan raya yang kuat kemungkinan akan tertabrak mobil yang lewat.

Di negara sedang berkembang klakson masih dianggap mainan. Semakin sering memencet, hati semakin terhibur, seperti memegang mainan. Klakson juga digunakan sebagai alat penekan. Ketika seseorang sedang buru-buru di jalan dan tidak ingin pengendara lain menghalangi jalan Anda, maka dipencetlah klakson sering-sering. Tidak heran, dengan anggapan seperti itu, di jalan raya bunyi klakson bersaut-sautan. Persis seperti orang sedang bermain. Tidak heran pula di perempatan jalan di mana di pasang lampu lalu lintas, menjelang warna hijau, klakson bersautan untuk memberi sinyal bagi pengendara lain agar cepat-cepat jalan.

Di negara berkembang kesadaran untuk menghargai orang lain masih kurang. Maka orang sering merasa memiliki urusan paling penting diantara sesama pengguna jalan. Karena urusannya paling penting dia harus mendapat prioritas di jalan raya. Klakson sering berbunyi. Jarang kita temui seseorang yang mengendarai kendaraan bermotor memberi kesempatan kepada orang lain (ibu atau anak-anak) untuk menyeberang dengan tenang. Semua dilakukan dengan buru-buru. Begitu juga sesama pengendara sangat jarang memberi kesempatan kepada yang lain untuk lewat dulu. Semua ingin lewat dulu. Semua ingin cepat. Dan klaskson adalah senjata ampuh untuk menandakan dan mewujudkan semua itu. Maka tidak heran di masyarakat yang toleransi berkendaraannya masih rendah, bunyi klakson samakin sering terdengar. Sebaliknya di masyarakat maju, klakson digunakan saat genting.

Dengan masing-masing pengendara menghargai hak orang lain untuk merasa urusannya juga penting, toleransi berkendaraan semakin tinggi. Tidak perlu alat penekan agar orang lain minggir atau agar orang lain mengalah. Dengan sikap berlalu lintas seperti itu justru lalu lintas di jalan raya bisa lebih tertib, kemacetan bisa dikurangi.

Sikap seperti ini berhubungan erat dengan budaya masyarakat yang menghargai hak orang lain, menghormati aturan, tidak menyukai jalan pintas dan disiplin. Frekuensi bunyi klakson di jalan raya adalah indikator semua ini. Dia tidak sekedar penambah kebisingan atau aksesoris jalan raya. Maka jika suara suara klakson di jalan raya berkurang itu tandanya masyarakat kita makin maju makin berbudaya.

No comments

Post a Comment