Berdasarkan prinsip pelaksanaan Belajar Dari Rumah (BDR) sesuai dengan SE Mendikbud No. 4 Tahun 2020, pemerintah menganjurkan agar kegiatan BDR dilaksanakan untuk memberikan pengalaman belajar yang bermakna bagi siswa, tanpa terbebani tuntutan menuntaskan seluruh capaian kurikulum. Selain itu, pemerintah mengharapkan agar BDR dapat difokuskan pada pendidikan kecakapan hidup, salah satunya mengenai pandemi COVID-19 dengan materi pembelajaran bersifat inklusif sesuai dengan usia dan jenjang pendidikan, konteks budaya, karakter dan jenis kekhususan peserta didik (Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 2020). Hanya saja, landasan ini tidak cukup menjawab pertanyaan bagaimana kurikulum seharusnya dijalankan? Dapatkah sekolah-sekolah beradaptasi dengan pedoman tersebut ketika kurikulum yang dijalankan sebelumnya sangat berorientasi akademik? Di satu sisi, situasi pandemi ini bernilai positif karena mampu membukakan mata dunia pendidikan Indonesia bahwa orientasi kurikulum yang dijalankan selama ini sudah tidak relevan dan ini dibuktikan dengan situasi sekarang. Namun, di sisi lain, muncul kekhawatiran tentang dapatkan dunia pendidikan Indonesia survive dan beradaptasi secara cepat dengan situasi ini? Bagaimana seharusnya kita menyikapi hal ini?
Banyak studi yang menunjukkan bahwa bencana pandemi COVID-19 tidak hanya berdampak pada krisis ekonomi saja, tetapi juga krisis kesehatan mental. Gangguan kesehatan mental ini dapat berdampak pada berbagai golongan, tidak sebatas tenaga medis dan pasien. Situasi ini berdampak pada kesehatan mental karena bombardir informasi oleh media yang terkadang tidak akurat sumber dan datanya. Selain itu, ketidakpercayaan masyarakat terhadap otoritas publik sehingga memunculkan berbagai narasi yang “mengkambinghitamkan” suatu golongan juga menjadi alasan (Rajkumar, 2020). Fakta ini menjadi pekerjaan yang harus dipersiapkan penyelesaiannya oleh institusi pendidikan. Maka dari itu, ketika pemerintah mengharapkan pendidikan yang kontekstual terutama dalam menghadapi situasi pandemi, hal yang perlu disiapkan adalah menyiapkan kurikulum darurat yang berorientasi pada ketahanan diri anak yang terdiri atas ketahanan fisik, mental dan sosial dalam menghadapi situasi sekarang. Sehingga, orientasi kurikulum bukan tentang penguasaan materi saja seperti yang selama ini dilakukan, melainkan lebih berorientasi untuk membangun ekologi sosial yang menghubungkan ilmu pengetahuan, kebutuhan keluarga, dan persoalan di kehidupan nyata (Rizal, 2020).
Pada intinya, cara kita menyikapi fenomena new normal di bidang pendidikan adalah dengan memikirkan orientasi pendidikan yang mengarah pada kurikulum ketahanan diri. Contoh kurikulum yang dimaksud dalam implementasi kegiatannya sangat sederhana, seperti mengajarkan anak-anak mengenai ketahanan pangan dengan berdikari menanam tanaman sayuran, memakan sayuran hasil tanam secara mandiri untuk kesehatan fisik, serta membuat jadwal kegiatan kesepakatan dengan keluarga sebagai bentuk ketahanan emosi dan sosial (Candra, 2020). Ide pergeseran ini menjadi terobosan yang sedang diupayakan oleh sekolah-sekolah pinggiran yang notabene telah tergabung dalam komunitas GSM. Upaya ini dilakukan untuk melengkapi kebutuhan pendidikan yang absen, tetapi mendesak, di masa pandemi ini agar kemampuan adaptasi siswa di berbagai kondisi dapat terlatih, seperti halnya yang diharapkan oleh pemerintah. Oleh sebab itu, perencanaan kurikulum ketahanan diri menjadi komponen utama yang harus diselamatkan oleh dunia pendidikan sekarang untuk mencegah generasi muda terdampak dari berbagai macam kemerosotan di masa akan datang.
No comments
Post a Comment