Dunia pendidikan tanah air kembali tersentak dengan berita yang ramai menjadi viral dan perbincangan di media sosial. Bahkan, tidak luput menjadi HL pemberitaan di sejumlah televisi nasional. Pasalnya, untuk kesekian kalinya kembali terjadi kekerasan di sekolah. Uniknya, kali ini yang menjadi korban adalah seorang guru sebuah SMK Negeri di Sulawesi Selatan. Berita ini menjadi anomali informasi rutin yang dianggap seksi oleh media. Biasanya media cenderung "berpihak" ketika mempublish peristiwa di sekolah. Padahal, jika semua pihak mau memandang dengan jujur, teramat banyak permasalahan yang ada di dunia pendidikan kita sehingga "rutinitas" kekerasan kembali dan kembali lagi menjadi perbincangan khalayak ramai.
Terlepas dari " kesemrawutan" dunia pendidikan kita, sebenarnya BOLEHKAN SEORANG GURU MENGHUKUM MURID ?
Kalau pertanyaan ini diajukan di zaman kini, saya yakin jawabannya adalah absolutely no atau definitely no. Tanpa dikomando, semua guru termasuk yang paling galak sekalipun, tak ada yang mempunyai nyali untuk menghukum murid, apalagi memberi hukuman fisik. Zaman memang sudah berubah. Pepatah yang dahulu kala diagung-agungkan ‘Spare the rod, spoil the child’ sekarang sudah tak laku lagi. Maksim ini menyiratkan kalau kita tidak pernah menggunakan ‘rotan’ untuk menghukum anak yang bersalah, maka kita justru memanjakan atau merusak watak anak yang bersangkutan.
Kenangan saya melayang ke masa puluhan tahun yang silam. Guru menghukum murid yang bandel adalah hal yang lumrah. Tak ada protes dari orangtua murid. Tak ada LSM yang berteriak soal pelanggaran HAM atau child abuse. Di kelas 5 sekolah dasar, saya mempunyai guru wanita yang tidak menikah. Penampilannya seram dan tanpa senyum. Tetapi yang paling menakutkan buat kami anak-anak kelas 5 adalah sanksi hukuman kalau kami berbuat salah. Telinga kami akan dijewer dipelintir sekuat-kuatnya sampai mengeluarkan bunyi ‘krak’. Tak heran anak-anak seangkatan saya banyak yang memiliki ‘kuping gajah’ saking seringnya dibetot dan dijewer. Di zaman itu, saya ingat ada juga kue kering yang diberi nama kuping gajah yang kini sudah menjadi camilan yang langka.
Memasuki bangku kelas SMP, nasib anak-anak ini tidak menjadi lebih baik. Sekali pun banyak guru yang baik dan bijak, selalu saja ada guru killer di kelas kami. Ada guru yang menghukum dengan cara mencubit dada kami sekuat-kuatnya. Untung pada masa itu kelas kami eksklusif laki-laki semua dan tidak ada satu pun murid perempuan. Tak terbayangkan bagaimana kalau pak guru ini ingin menghukum murid wanita. Mungkin dia akan berimprovisasi dengan mencubit paha. Paha teman-teman sekolah juga seringkali menjadi sasaran cubitan maut bapak guru ini. Kalau paha ini terlalu gempal atau terlalu liat untuk dicubit, maka targetnya akan pindah ke buah dada kami.
Ada lagi guru yang menghukum dengan cara yang unik. Mereka yang tidak membuat PR, akan disetrap dengan disuruh menungging sambil memanggul bangku sekolah di atas kepalanya. Guru aljabar saya mempunyai ciri khas menghukum murid yang bandel dengan cara ’menjengkit’ (menarik kuat-kuat) rambut yang ada di samping telinga. Dia baru berhenti menjengkit setelah si murid berteriak terkaing-kaing kesakitan. Pada masa itu secara berkala ada inspeksi pemeriksaan kerapian kuku jari-jari tangan. Dengan menghunus penggaris kayu yang besar, guru akan berkeliling memeriksa jari-jari kami yang diperintahkan untuk diletakkan di atas bangku. Kuku yang panjang dan hitam kotor akan menjadi sasaran empuk pukulan penggaris panjang dari kayu itu.
Pulang kembali dari sekolah ke rumah tidak berarti kita bebas hukuman fisik itu. Di masa itu rata-rata para orangtua menyimpan ’rotan’ atau ’kemocing’ (bulu-bulu ayam) untuk memberi hukuman disiplin kepada anak-anaknya. Di budaya Barat juga dikenal dengan istilah spanking yaitu memukul pantat dengan tangan kosong atau rotan. Yang ’lucu’ anak ini akan tengkurap di pangkuan ibu atau bapaknya seakan minta perlindungan, tetapi malahan mendapat tamparan di bokong. Saya masih teringat, waktu saya dan adik laki saya bertengkar meskipun sudah diperingatkan untuk berhenti dan mendapat ’hadiah’ lecutan rotan dari ibu. Kami berdua menangis di sudut lemari sambil menghitung bilur-bilur rotan di paha. Kami tahu, ibu diam-diam menangis menyesal di kamar sudah merotan kami, namun itulah ’cara mendidik’ zaman itu yang berfatwa ’spare the rod spoil the child’.
Para psikolog dan pakar pendidikan anak sering mengatakan hukuman fisik ini akan menimbulkan trauma psikis dan terus membekas pada kejiwaan sang anak sampai dia dewasa. Apakah memang demikian halnya? Sebetulnya menurut saya pendapat ini masih bisa diperdebatkan. Kami yang cukup sering mendapat hukuman fisik di masa anak-anak, secara umum tak ada yang mempunyai rasa dendam atau sakit hati. Tapi itu bukan berarti kami berpangku tangan saja disewenangi oleh guru yang ringan tangan ini. Kami bersepakat untuk membayar impas (get even) terhadap guru-guru ’lalim’ ini dengan cara kami sendiri. Pernah kami mengoleskan daun simbukan banyak-banyak di kursi pak guru bengis ini. Daun simbukan yang banyak tumbuh di sekitar sekolah ini akan mengeluarkan bau busuk seperti kentut bila diremas-remas. Pernah juga teman-teman mengolesi kursi guru dengan rawe (sejenis tanaman yang menimbulkan gatal-gatal bila kontak dengan kulit). Kalau guru sudah mendapat pembalasan yang setimpal, maka kami biasanya tersenyum puas, meskipun dihukum ramai-ramai berjalan jongkok mengelilingi kelas.
Bagaimana jua (after all), saya lebih setuju dengan penanganan anak-anak di zaman sekarang ini. Tidak ada kuping yang memerah karena dijewer atau diselentik, tidak ada paha atau pinggul yang biru matang karena dicubit, tidak ada pipi yang merona berbekas tangan yang menamparnya, tidak ada bokong yang berbilur-bilur seperti dulu. Pasalnya, survei membuktikan bahwa anak dapat dididik dengan baik tanpa harus diberi hukuman fisik.
Terlepas dari " kesemrawutan" dunia pendidikan kita, sebenarnya BOLEHKAN SEORANG GURU MENGHUKUM MURID ?
Kalau pertanyaan ini diajukan di zaman kini, saya yakin jawabannya adalah absolutely no atau definitely no. Tanpa dikomando, semua guru termasuk yang paling galak sekalipun, tak ada yang mempunyai nyali untuk menghukum murid, apalagi memberi hukuman fisik. Zaman memang sudah berubah. Pepatah yang dahulu kala diagung-agungkan ‘Spare the rod, spoil the child’ sekarang sudah tak laku lagi. Maksim ini menyiratkan kalau kita tidak pernah menggunakan ‘rotan’ untuk menghukum anak yang bersalah, maka kita justru memanjakan atau merusak watak anak yang bersangkutan.
Kenangan saya melayang ke masa puluhan tahun yang silam. Guru menghukum murid yang bandel adalah hal yang lumrah. Tak ada protes dari orangtua murid. Tak ada LSM yang berteriak soal pelanggaran HAM atau child abuse. Di kelas 5 sekolah dasar, saya mempunyai guru wanita yang tidak menikah. Penampilannya seram dan tanpa senyum. Tetapi yang paling menakutkan buat kami anak-anak kelas 5 adalah sanksi hukuman kalau kami berbuat salah. Telinga kami akan dijewer dipelintir sekuat-kuatnya sampai mengeluarkan bunyi ‘krak’. Tak heran anak-anak seangkatan saya banyak yang memiliki ‘kuping gajah’ saking seringnya dibetot dan dijewer. Di zaman itu, saya ingat ada juga kue kering yang diberi nama kuping gajah yang kini sudah menjadi camilan yang langka.
Memasuki bangku kelas SMP, nasib anak-anak ini tidak menjadi lebih baik. Sekali pun banyak guru yang baik dan bijak, selalu saja ada guru killer di kelas kami. Ada guru yang menghukum dengan cara mencubit dada kami sekuat-kuatnya. Untung pada masa itu kelas kami eksklusif laki-laki semua dan tidak ada satu pun murid perempuan. Tak terbayangkan bagaimana kalau pak guru ini ingin menghukum murid wanita. Mungkin dia akan berimprovisasi dengan mencubit paha. Paha teman-teman sekolah juga seringkali menjadi sasaran cubitan maut bapak guru ini. Kalau paha ini terlalu gempal atau terlalu liat untuk dicubit, maka targetnya akan pindah ke buah dada kami.
Ada lagi guru yang menghukum dengan cara yang unik. Mereka yang tidak membuat PR, akan disetrap dengan disuruh menungging sambil memanggul bangku sekolah di atas kepalanya. Guru aljabar saya mempunyai ciri khas menghukum murid yang bandel dengan cara ’menjengkit’ (menarik kuat-kuat) rambut yang ada di samping telinga. Dia baru berhenti menjengkit setelah si murid berteriak terkaing-kaing kesakitan. Pada masa itu secara berkala ada inspeksi pemeriksaan kerapian kuku jari-jari tangan. Dengan menghunus penggaris kayu yang besar, guru akan berkeliling memeriksa jari-jari kami yang diperintahkan untuk diletakkan di atas bangku. Kuku yang panjang dan hitam kotor akan menjadi sasaran empuk pukulan penggaris panjang dari kayu itu.
Pulang kembali dari sekolah ke rumah tidak berarti kita bebas hukuman fisik itu. Di masa itu rata-rata para orangtua menyimpan ’rotan’ atau ’kemocing’ (bulu-bulu ayam) untuk memberi hukuman disiplin kepada anak-anaknya. Di budaya Barat juga dikenal dengan istilah spanking yaitu memukul pantat dengan tangan kosong atau rotan. Yang ’lucu’ anak ini akan tengkurap di pangkuan ibu atau bapaknya seakan minta perlindungan, tetapi malahan mendapat tamparan di bokong. Saya masih teringat, waktu saya dan adik laki saya bertengkar meskipun sudah diperingatkan untuk berhenti dan mendapat ’hadiah’ lecutan rotan dari ibu. Kami berdua menangis di sudut lemari sambil menghitung bilur-bilur rotan di paha. Kami tahu, ibu diam-diam menangis menyesal di kamar sudah merotan kami, namun itulah ’cara mendidik’ zaman itu yang berfatwa ’spare the rod spoil the child’.
Para psikolog dan pakar pendidikan anak sering mengatakan hukuman fisik ini akan menimbulkan trauma psikis dan terus membekas pada kejiwaan sang anak sampai dia dewasa. Apakah memang demikian halnya? Sebetulnya menurut saya pendapat ini masih bisa diperdebatkan. Kami yang cukup sering mendapat hukuman fisik di masa anak-anak, secara umum tak ada yang mempunyai rasa dendam atau sakit hati. Tapi itu bukan berarti kami berpangku tangan saja disewenangi oleh guru yang ringan tangan ini. Kami bersepakat untuk membayar impas (get even) terhadap guru-guru ’lalim’ ini dengan cara kami sendiri. Pernah kami mengoleskan daun simbukan banyak-banyak di kursi pak guru bengis ini. Daun simbukan yang banyak tumbuh di sekitar sekolah ini akan mengeluarkan bau busuk seperti kentut bila diremas-remas. Pernah juga teman-teman mengolesi kursi guru dengan rawe (sejenis tanaman yang menimbulkan gatal-gatal bila kontak dengan kulit). Kalau guru sudah mendapat pembalasan yang setimpal, maka kami biasanya tersenyum puas, meskipun dihukum ramai-ramai berjalan jongkok mengelilingi kelas.
Bagaimana jua (after all), saya lebih setuju dengan penanganan anak-anak di zaman sekarang ini. Tidak ada kuping yang memerah karena dijewer atau diselentik, tidak ada paha atau pinggul yang biru matang karena dicubit, tidak ada pipi yang merona berbekas tangan yang menamparnya, tidak ada bokong yang berbilur-bilur seperti dulu. Pasalnya, survei membuktikan bahwa anak dapat dididik dengan baik tanpa harus diberi hukuman fisik.
No comments
Post a Comment