PENAKLUKAN AL-QUDS

No comments
ilustrasi-Khalid bin Walid
Setelah Nabi wafat, Islam telah tersebar di seluruh semenjanjung Arab.Ketika Umar bin Khattab berkuasa, Islam menyebar keluar semenanjung yang gersang dan tandus itu, menuju wilayah-wilayah hijau, subur, dan kaya; ke kota-kota pusaka; ke negeri-negeri legenda yang memiliki sejarah serta peradaban lebih tinggi.

Sebelum masa penaklukan Islam, Suriah ditempati oleh bangsa Suriah-Aramaic (Suryani), sebagian elite Yunani dan Romawi berbicara dalam bahasa tersebut. Mesir ditempati bangsa Yunani dan Koptik. Cyrenaica dan Afrika Utara dihuni bangsa Romawi dan Barber. Palestina didiami orang-orang berbahasa Suryani, Yunani, dan Ibrani. Irak dan seluruh wilayah Persia ditempati bangsa Arya-Persia dan sebagian kecil Suryani. Meski demikian, terdapat minoritas klan Arab yang tinggal di wilayah kecil perbatasan Suriah dan Irak, seperti ain Tamar dan Hira. Hanya sekitar sepuluh tahun, Umar berhasil menguasai seluruh wilayah itu.

Menghadapi Persia

Pada masa awal kekhalifahan Abu Bakar, muncul gerakan pemberontakan (riddah) di beberapa wilayah semenanjung Arab, terutama di Yaman, Oman, dan Bahrain. Untuk mengatasinya, Abu Bakar membentuk pasukan militer yang dipimpin oleh Khalid bin Walid. Di bawah pedang khalid, operasi kekhalifahan berhasil mempersatukan kembali semua penduduk semenjanjung yang memberontak itu ke dalam barisan Islam.

Setelah menuntaskan operasi tersebut pada awal 633 M (12 H), ketika Khalid dan pasukannya berada di Yamamah dan sebagian pasukan muslim lainnya di Bahrain, Abu Bakar memerintahkan Khalid untuk melakukan ekspedisi ke arah utara, yaitu Apollo Apologus (Ubulla), sebuah kota pesisir kuno sekaligus bandar utama yang strategis dan kaya raya. Ubulla terletak di ujung teluk Persia (sekarang Kuwait), di tepi muara sungai Eufrat-Tigris. Kota bandar itu dibangun pada masa penaklukan kaisar Alexander Agung (w. 323 SM) sebagai bentuk persembahan kepada dewa matahari.

Pasukan Islam telah bergerak dengan kekuatan 1.800 tentara. Saat itu, kota bandar Ubulla berada di bawah kekaisaran Persia. Setelah mengetahui rencana ekspedisi militer orang Arab itu, Persia segera mempersiapkan pasukan pertahanan di bawah pimpinan tiga ksatria perang dan panglima andal: Hormouz, Kavad, dan Anushajan.

Pertempuran hebat pun pecah. Kedua belah pasukan bertempur di tepian muara sungai purba itu. Pasukan Persia yang tersohor tangguh itu dapat dikalahkan pasukan Arab. Dalam pertempuran itu pula, panglima besar Hormouz tewas. Sisa-sisa pasukan Persia yang masih hidup, termasuk panglima Kavad dan Anushajan, melarikan diri.

Pertempuran di Ubulla tercatat sebagai pertempuran pertama orang muslim dengan imperium Persia, sekaligus pertempuran bangsa Arab dengan bangsa ‘ajam (non-Arab). Pertempuran Ubulla disebut juga pertempuran berantai (mawqi’ah dzat al-salasil), karena tubuh para tawanan perang diikat dengan rantai.

Pasukan Muslim menuju Jerussalem-Al-Quds
Setelah kemenangan di kota muara itu, Khalid dan pasukannya terus bergerak ke utara, menyusuri lembah sungai Eufrat, menaklukan kota-kota kecil dan memenangkan serangkaian peperangan lanjutan dengan pihak Persia, seperti Tsini, Walijah, dan Allais. Hingga tibalah Khalid dan pasukannya di kota kerajaan Hirah. Usia kerajaan Hirah terbilang tua, didirikan Malik Amru bin Uday al-Lakhmi pada pertengahan tahun 200 M. Kerajaan itu dikelilingi benteng bebatuan, pohon palem dan kurma. Ada beberapa istana dalam area benteng, juga gereja-gereja dan akademi (madaris). Hirah merupakan kerajaan Arab puak Lakhm (Manad-Zirah) di wilayah perbatasan Irak-Arab yang kemudian menjadi protektorat imperium Persia. Mayoritas penduduknya memeluk kristen nestorian.

Hampir tak ada perlawanan berarti dari kerajaan Hirah ketika pasukan muslim mengepung benteng itu dari empat penjuru. Para petinggi kerajaan justru membukakan salah satu gerbangnya, lalu memilih untuk berdamai dan membayar upeti (jizyah) sebagai jaminan keamanan. Khalid menjamin bahwa tidak akan ada satu pun gereja, istana, atau bangunan apapun di dalam benteng kerajaan itu yang akan diganggu.

Setelah penaklukan Hirah, Khalid dan pasukannya terus bergerak ke utara, menuju Anbar (Fairuzshapur), kota berpenduduk mayoritas Arab lain di perbatasan Irak-Arab yang terletak tak jauh dari seberang bekas reruntuhan situs kota kuno Babilonia. Sekalipun mendapatkan perlawanan dari pihak Persia, juga penduduk lokal, Khalid berhasil menguasai kota tersebut. Khalid dan pasukannya kembali melanjutkan pergerakan ke barat menuju Ain Tamr, sebuah kota-oasis yang dirimbuni ladang kurma, sekaligus benteng terdepan bagi pertahanan dan perbatasan imperium Persia dengan imperium Bizantium.

Dari serangkaian penaklukan kota-kota di perbatasan Arab-Irak itu, Khalid dan pasukan Islam lainnya mendapatkan banyak harta rampasan (ghanimah). Seperlimanya dikirimkan ke ibu kota kekhalifahan di Madinah-inilah kucuran upeti pertama yang diperoleh orang Arab semenanjung dari kemenangan perang dengan bangsa lain.

Menghadapi Bizantium

Kemenangan Khalid dan pasukan Islam di daerah Arab-Irak yang berjalan tak lebih dari setahun rupanya berdampak sangat besar bagi perjalanan sejarah penaklukan Arab Islam selanjutnya. Setelah penaklukan itu, orang-orang Arab seakan-akan dirasuki gelora yang tak pernah mereka rasakan sebelumnya.

Dahulu orang-orang Arab semenanjung merasa gemetar dan ciut nyali ketika mendengar kata Persia, terlebih lagi menghadapi pasukannya. Namun, setelah peristiwa penaklukan itu, mereka mulai percaya diri dan berani untuk berhadapan dengan Persia, bahkan juga Romawi. Madinah, jantung kekhalifahan Islam, segera didatangi kelompok-kelompok sukarela dari pelbagai klan Arab di seluruh semenanjung, untuk ikut bergabung dalam rangkaian penaklukan-penaklukan berikutnya.

Khalifah Abu Bakar dan sahabat-sahabat tertua lainnya lantas menggelar rapat. Dalam rapat tersebut diputuskan untuk menggerakkan pasukan muslim ke utara, menuju Yordania, Palestina, Pesisir Levantina, dan Suriah (wilayah-wilayah strategis di Mediterania Timur atau Asia Barat); berpemandangan elok, bertanah hijau, berpegunungan tinggi, berlapis salju, berlahan subur dengan hasil bumi yang kaya; memiliki kota-kota yang indah dan megah; gerbang tiga benua yang memiliki legenda, tradisi, sejarah, dan peradaban yang sangat tinggi. Orang-orang Arab menyebut wilayah itu dengan Syam. Para penduduk Syam adalah orang-orang kulit putih, baik dari ras asli Suryani (Suriahc-Aramaic), Ibrani, Piniki (Pheonician/Finiqiyyah), Nabatea, atau ras pendatang Yunani dan latin.

Maka pada puncak musim dingin, awal tahun 634 M (13 H), dikirimkan empat regu pasukan dengan jumlah total 24.000 tentara, di bawah pimpinan empat panglima besar; Amr bin al-Ash untuk bandar Ayla di ujung teluk Aqabah, lalu Palestina; Syarhabil bin Hasanah untuk Tabuk, lalu Yordania; Yazid bin Abi Sufyan untuk Damaskus dan Suriah Selatan; juga Abu Ubaidah bin al-Jarrah untuk Emesa (Hims), lalu Antiokia dan kota-kota Suriah Utara lainnya.
Keberangkatan pasukan besar tersebut dilepas dengan upacara di alun-alun ibu kota. Abu Bakar  memberikan khutbah dan wasiat-wasiat perang, wasiat yang sangat mulia dan manusiawi. Sementara, para penduduk kota mengantar iring-iringan pasukan hingga ke luar batas kota dengan lagu dan do’a.

Pasukan Amr bin al-Ash dicatat sebagai pasukan yang pertama kali meraih kemenangan. Bagaimanapun, pada masa pra-Islam Amr adalah saudagar dagang Arab yang sering bepergian ke Gaza dan kota-kota pesisir Levantina lainnya. ia pun tahu betul kondisi wilayah yang akan ditaklukkannya. Kota-bandar Ayla (Elat) di teluk Aqabah berhasil ditaklukkan tanpa mendapat perlawanan berarti. Amr lalu bergerak ke arah barat daya, menuju pesisir laut Gaza. Di Dathin, sebuah desa dekat Gaza, pasukan Amr berhasil mengalahkan pasukan militer Bizantium setempat.

Di sisi lain, pasukan Syarhabil bin Hasanah tiba dan mengepung Bostra (Busra), kota tua di sisi utara perbatasan Suriah-Yordania. Sementara itu, pasukan Yazid bin Abi Sufyan tiba di tepi sungai Yordan, dan pasukan Abu Ubaidah bin al-Jarrah berada di arah utara yang terjauh, yaitu Jabiyah, kota kuno yang terletak di selatan Damaskus atau di sebelah timur Yarmuk (Heromax).

Pergerakan pasukan muslim yang menembus perbatasan Palestina-Yordania-Suriah dan serangkaian penaklukan kecil di wilayah-wilayah tersebut telah mengagetkan imperium Bizantium. Otoritas itu mulai serius mengahadapi ancaman baru yang datang dari pasukan pasir di selatan itu-dari orang-orang Arab semenanjung. Padahal, lima tahun sebelumnya, Bizantium baru saja merampungkan serangkaian peperangan besar yang sangat melelahkan dengan pihak Persia, yang berlangsung selama hampir dua puluh tahun (610-629 M) di wilayah yang sama: Palestina, Yordania, dan Suriah.

Kaisar Bizantium, Heraklius, yang saat itu berada di istana peristirahatannya di Damaskus, segera memerintahkan semua dominionnya di berbagai kota Suriah dan Palestina, juga kota-kota bandar di sepanjang pesisir Levantina untuk segera mengerahkan pasukan militer. Heraklius menunjuk saudaranya, Theodore Georgius dari Konstantinopel, sebagai panglima besar pasukan gabungan Bizantium. Heraklius sendiri, yang sudah berusia senja, 60 tahun, lebih memilih untuk berdiam di Damaskus, mengatur strategi, menurunkan komando, dan mengawasi jalannya pertempuran.

Hingga tibalah musim semi tahun itu. Kabar tentang persiapan besar Bizantium itu sampai pada keempat panglima muslim. Mereka bersepakat untuk menggabungkan seluruh pasukan dalam satu kesatuan. Opsi ini juga disetujui Abu Bakar di Madinah. Pasukan gabungan itu berkumpul dan membuat garis pertahanan di tepi sungai Yarmuk (Heromax). Yarmuk adalah daerah berlembah yang dikitari bukit-bukit dan terletak di sebelah barat kota Jabiya atau di sebelah timur danau Tiberias. Di sepanjang Yarmuk mengalir anak sungai yang berhulu dari dataran tinggi Hawran , dan bermuara di danau Tiberias (Thabariyah).
Yarmuk nantinya akan menjadi saksi bisu sebuah pertempuran besar antara pasukan muslim dan pasukan Bizantium.

No comments

Post a Comment