Ada kalanya mengenang masa kecil mendatangkan begitu banyak manfaat. Adalah seorang pengelana, yang melantunkan ayat-ayat Allah di sepanjang jalan dan mewartakan falsafah kehidupan di hampir seluruh waktu pengembaraannya. Dia, almarhum Iman Mukmin, sang pengelana, adalah bagian dari masa kecil saya itu, yang akan saya eksplorasi eksistensinya untuk membaca zaman.
Ia orang biasa saja, bukan sosok besar, apalagi seorang tokoh yang layak untuk diangkat menjadi pahlawan nasional. Bahkan sekadar diusulkan pun sunggguh tidak layak, minimal jika menggunakan tolok ukur heroisme pahlawan formal. Bahwa ia pernah mewarnai masa kecilku, itu adalah fakta yang sudah selayaknya saya tempatkan dalam cawan kenangan yang tersendiri.
Pengelana itu, sesungguhnya juga bukanlah pengelana sebagaimana Panji Tengkorak, tokoh komik rekaan Hans Jaladara yang eposnya telah menghasilkan jutaan imaji dan ribuan puja-puji apresiasi. Sejatinya, pengembaraannya tidak lebih dari 2 kali 10 kilometer sehari, menyusuri jalan yang itu-itu saja, dalam rentang waktu yang itu-itu juga. Namun, justru asketisme yang sepenuh hati itulah yang membuat saya sungguh kagum dan terharu atas hidup yang pernah dilakoninya.
Jika seorang tokoh besar wafat, ia meninggalkan bekas yang panjang. Kadang-kadang ia hadir sebagai ikon: sebuah tanda yang memberikan makna yang menggugah hati karena melebihi kehendak kita sendiri. Kadang-kadang sebagai simbol: sebuah tanda yang maknanya kita tentukan, tak perlu menggugah hati lagi, namun berguna untuk tujuan kita yang jelas. Sebagai ikon, ia bisa menjelma menjadi puisi. Sebagai simbol, ia dapat bermetamorfosa menjadi prosa. Keduanya telah saling menyilang tak henti-hentinya.
Coba dengarkanlah Saudaraku: ora weruh, kudu weruh, yen wis weruh...ora papa !! (tidak melihat, harus –mampu- melihat. Kalau sudah melihat, ya tidak apa-apa). Sepotong syair, yang ditembangkan tanpa tunduk pada idiom titi laras nada. Spontan, keluar begitu saja, sesukanya. Kesederhanaan itulah kuncinya. Bahwa manusia yang buta hatinya haruslah diberikan penerang. Sementara bagi yang telah terang, haruslah tetap menjaga terang hati itu, hingga ajal menjemput.
Iman Mukmin adalah pengelana pagi yang pulang siang. Berpeci kumal dan berkalung sarung. Dari Dusun Gempol Kecamatan Karanganom Klaten – menuju Pasar Cokrotulung. Ia (sebagaimana Panji Tengkorak yang selalu menyeret peti mati di sepanjang pengembaraannya) kedapatan selalu menuntun sepeda butut bermerek Hartog. Selalu berhenti di depan sekolahku, melantunkan puji-pujian keesaan Allah di depan anak-anak. Dan ia lakukan itu sepanjang hidupnya.
Ia, penuntun sepeda butut itu, sejatinya adalah penjual sapu lidi. Benda remeh yang selalu dibutuhkan setiap keluarga beradab. Tanpa sapu lidi, tak kubayangkan betapa repotnya dunia ini, meski kerepotan itu dapat diselesaikan oleh hasrat kebersihan dan – tentunya – sebatang sapu lidi. Dan Iman Mukmin menyediakannya untuk keluarga-keluarga beradab itu. Barang dagangan yang tak seberapa itu, ternyata membuka cakrawala kita, bahwa sesungguhnya untuk membersihkan kehidupan ini diperlukan pertapaan yang wening. Dan darinya, kita dapat merasakan manisnya kehidupan. Dan itu ia ajarkan, dengan samudana yang sungguh indah, bahwa selain sapu lidi ia juga sering kedapatan menjajakan potongan-potongan tebu sisa-sisa panen.
Ia seorang pengembara yang – sejatinya – tidak terlalu membara. Hanya karena syair-syair yang menyanjung keesaan Allah dan penuh dengan tuntunan kehidupan itulah yang membuat hidupnya bagai pena. Memang tak sepenuhnya, bagi yang tak mampu mencerna pengembaraannya, selalu melekatkan predikat “kakehan ngelmu”, ilmunya yang meluber akibat kapasitas wadah yang tak mampu menampungnya. Dan luberan itulah yang menjelma menjadi syair-syair indah yang senantiasa tumpah di jalan-jalan, di kerumunan anak-anak sekolah.
Iman baginya bukanlah sebuah pagar suci, melainkan sebuah obor. Sang Mukmin membawanya dalam perjalanan menjelajah, menerangi lekuk yang gelap dan tak dikenal. Iman sebagai suluh adalah iman yang tak takut menemui yang berbeda dan tak terduga. Terkadang nyala obor itu redup atau bergoyang, tapi ia tak pernah padam. Bila pun tlah padam, itu semata menandai perjalanannya yang telah berhenti. Entah kapan tepatnya perjalanan itu terhenti, saya sungguh kesulitan untuk melacak presisinya.
Bocah cilik-cilik, jejer tharik-tharik, sandhangane resik tumindake becik, ukume wong Islam, ora kena jothakan, mengko yen jothakan, iku kudu wawuh.... Saya tak tahu mengapa, syair itu tertancap begitu dalam di lubuk hati saya. Mbah Iman Mukmin, selamat jalan, teruskanlah melantunkan puja-puji kepada-Nya. Ajarilah terus dunia ini untuk memahami dirinya, terlebih memahami yang menciptakannya. Gusti Allah iku siji, ora ana kang ngancani, tanpa putra tan pinutra tanpa bapa tanpa kanca.... ***
Yogyakarta, 8 Februari 2010.
Foto appear courtesy: tobytall.files.wordpress.com
Catatan: Mbah Iman Mukmin adalah penjual sapu lidi, yang berkelana dan menjadi sahabat anak-anak sekolah. Ia selalu berhenti di depan sekolah, menyanyikan lagu-lagu pujian. Orang-orang di sekitar menjulukinya sebagai "orang gila" yang terjadi akibat "kelebihan ilmu" (kakehan ngelmu). Beliau pasti telah meninggal, karena 25 tahun lalu, di masa kecil saya, usianya sudah sekitar 70 tahun. Maaf bagi Saudaraku yg tidak bisa membayangkan konteks tulisan ini, semua ini adalah romantisme masa kecil saya.............
Sumber tulisan : Facebook
URL : https://www.facebook.com/note.php?note_id=304926208680
No comments
Post a Comment