Business

5/cate1/business

Lifestyle

6/cate2/lifestyle

Travel

6/cate3/travel

Sport

5/cate4/Sport

Entertainment

5/cate5/entertainment

Videos

3/cate6/videos

Recent post

Pendidikan Melahirkan Generasi Gelisah dan Bingung

 MENGAPA PENDIDIKAN MELAHIRKAN GENERASI GELISAH DAN BINGUNG?

Oleh: Dr. Adian Husaini 

Pada hari Jumat (22 Ramadhan 1441 H/15 Mei 2020), program Kuliah Ramadhan Jelang Berbuka (Kurma Langka) memasuki hari ke-22. Saya membahas topik berjudul: “Menentukan Tujuan dan Kurikulum Pendidikan Tingkat SMP”.

Topik ini sangat penting, sebab usia SMP (sekitar usia 12-15 tahun) adalah masa persiapan anak menjadi dewasa (akil-baligh). Ketika berusia 15 tahun, anak sudah harus ditetapkan sebagai “orang dewasa”. Ia bukan anak-anak lagi, karena telah menjadi “mukallaf”. Artinya ia sudah terkena beban kewajiban menjalankan ajaran-ajaran Islam. Ia sudah harus beriman dengan benar, beribadah, dan berakhlak dengan benar pula.

Jadi, tujuan utama pendidikan tingkat SMP adalah menyiapkan anak menjadi dewasa. Itu yang utama. Sesuai dengan prinsip pendidikan Islam, maka anak harus dididik – utamanya – dengan cara menanamkan adab dalam dirinya. Lalu, anak dididik agar mengutamakan ilmu-ilmu fardhu ain. Setelah itu, dipilih ilmu fardhu kifayah yang sesuai dengan potensi anak dan kebutuhan masyarakat.

Abdullah bin Umar r.a. berkisah, ia baru diijinkan perang oleh Rasulullah saw setelah berusia 15 tahun. Berdasarkan hadits riwayat Imam Bukhari, Khalifah Umar bin Abdul Aziz berkata, “Usia ini (15 tahun) adalah batas antara anak-anak dan dewasa.” Khalifah perintahkan para gubernur memberi tunjangan kepada siapa saja yang telah mencapai usia 15 tahun.”

Jadi, usia 15 tahun adalah batas akhir anak-anak. Karena itu, kurikulum pendidikan tingkat SMP harus memberikan bekal agar anak-anak nanti beradab kepada Allah, Rasul-Nya, para ulama, orang tua, guru, dan sebagainya. Juga, mereka juga harus sudah memahami dan melaksanakan adab dalam ibadah, khususnya shalat lima waktu, membaca al-Quran, berzikir, dan sebagainya.

Yang tidak kalah pentingnya, di tingkat SMP, anak-anak itu disiapkan menjadi pejuang dakwah yang siap menghadapi aneka tantangan pemikiran modern yang dapat merusak keimanan dan akhlaknya. Setelah menguasai adab dan ilmu-ilmu fardhu ain yang diperlukan, maka sang anak perlu dibekali dengan ilmu-ilmu yang sifatnya fardhu kifayah, seperti matematika, sains, bahasa Inggris, dan sebagainya.

Gelisah dan bingung!

Yang jadi tantangan berat bagi orang tua dan guru, dalam dunia pendidikan saat ini, ditetapkan bahwa anak-anak usia 12-15 tahun masih dimasukkan kategori “remaja”, belum dianggap memasuki usia dewasa. Sebagai contoh, dalam buku Psikologi Perkembangan karya Elizabeth Hurlock – yang banyak dirujuk para psikolog di Indonesia – disebutkan awal masa remaja adalah sekitar usia 13-16 tahun. Sedangkan akhir masa remaja sekitar 16-18 tahun. Hurlock menyebut, masa remaja sebagai periode peralihan, usia bermasalah, masa mencari identitas, usia yang menimbulkan ketakutan, dan masa yang tidak realistis.

Hurlock antara lain menulis: “Dengan semakin mendekatnya usia kematangan yang sah, para remaja menjadi gelisah untuk meninggalkan stereotip belasan tahun dan untuk memberikan kesan bahwa mereka sudah hampir dewasa. Berpakaian dan bertindak seperti orang dewasa ternyata belumlah cukup. Oleh karena itu, remaja mulai memusatkan diri pada perilaku yang dihubungkan dengan status dewasa, yaitu merokok, minum minuman keras, menggunakan obat-obatan (terlarang), dan terlibat dalam perbuatan seks. Mereka menganggap bahwa perilaku ini akan memberikan citra yang mereka inginkan.” (Lihat, Elizabeth B. Hurlock, Psikologi Perkembangan (Terj.), Jakarta: Erlangga, edisi kelima, hlm. 206-209).

Dalam buku berjudul “Psikologi Remaja: Perkembangan Peserta Didik” (Jakarta: Bumi Aksara, 2017, cetakan ke-12), karya Prof. Dr. Mohammad Ali dan Prof. Dr. Mohammad Asrori, disebutkan bahwa masa remaja berlangsung antara umur 12-21 tahun. Di AS, individu baru dianggap dewasa setelah usia 18 tahun.

Ditulis dalam buku Psikologi Remaja tersebut: “Karakteristik umum perkembangan remaja adalah bahwa remaja merupakan peralihan dari masa anak menuju masa dewasa sehingga seringkali menunjukkan sifat-sifat karakteristik, seperti kegelisahan, kebingungan, karena terjadi suatu pertentangan, keinginan untuk mengkhayal, dan aktivitas kelompok.” (hlm. 19).

Jadi, menurut konsep pendidikan yang diterapkan, pendidikan pada tingkat SMP, para siswa belum disiapkan menjadi dewasa. Sebab, anak-anak baru dianggap dewasa setelah umur 18 tahun. Bahkan ada yang menetapkan 21 tahun. Karena itu, meskipun sudah dewasa atau sudah mukallaf (15 tahun), para siswa itu dimaklumi saja jika mereka masih gelisah dan bingung. Sebab, katanya, itu ciri-ciri khas remaja! “Masa remaja seringkali dikenal dengan masa mencari jati diri,” tulis buku ini.

Dalam perspektif Islam, sepatutnya anak-anak yang memasuki 15 tahun, mereka bukan lagi anak-anak atau remaja. Tapi, mereka sudah dewasa, sehingga pada pendidikan tingkat SMP, mereka harus disiapkan menjadi manusia yang “akil-baligh”. Ketika itulah anak-anak sudah terbebani untuk menjalankan ajaran-ajaran Islam.

Jika konsep manusia yang digunakan untuk mendidik sudah keliru, maka tidak mudah untuk mendidik dengan benar. Sebab, tujuan dan kurikulum utamanya akan berbeda. Konsep yang salah tentang manusia ini akan berdampak besar pada perjalanan hidupnya.

Merujuk pada konsep remaja tersebut, maka anak-anak tingkat SMP sengaja dididik supaya tidak menjadi dewasa yang matang sikap dan pemikirannya. Sebab, para guru, orang tua, juga anak-anak sudah didoktrin dengan “teori remaja”, bahwa pada umumnya anak-anak pada usia 12-18 tahun memiliki ciri-ciri utama: gelisah dan bingung!

Dalam al-Quran, hadits Nabi, dan sejarah Islam, banyak ditemukan contoh-contoh anak-anak usia belasan tahun yang sudah matang jiwanya, serta dewasa dalam pemikiran dan perilakunya. Mereka tidak gelisah dan bingung. Inilah pentingnya kita memahami konsep manusia dengan benar, sehingga bisa menerapkan konsep pendidikan dengan benar pula. Dengan begitu, pendidikan kita tidak melahirkan generasi bingung dan gelisah! Wallahu A’lam bish-shawab. (Depok, 23 Ramadhan 1441 H/16 Mei 2020).

HOS Tjokroaminoto, Guru Bangsa


Raden Hadji Oemar Said Tjokroaminoto atau H.O.S Cokroaminoto lahir di Ponorogo, Jawa Timur, 6 Agustus 1882 dan meninggal di Yogyakarta, 17 Desember 1934 pada umur 52 tahun. Tjokroaminoto adalah anak kedua dari 12 bersaudara dari ayah bernama R.M. Tjokroamiseno, salah seorang pejabat pemerintahan pada saat itu. Kakeknya, R.M. Adipati Tjokronegoro, pernah juga menjabat sebagai bupati Ponorogo. Sebagai salah satu pelopor pergerakan nasional, ia mempunyai beberapa murid yang selanjutnya memberikan warna bagi sejarah pergerakan Indonesia, yaitu Musso yang sosialis/komunis, Soekarno yang nasionalis, dan Kartosuwiryo yang agamis. Namun ketiga muridnya itu saling berselisih. Pada bulan Mei 1912, Tjokroaminoto bergabung dengan organisasi Sarekat Islam.

Sebagai pimpinan Sarikat Islam, HOS dikenal dengan kebijakan-kebijakannya yang tegas namun bersahaja. Kemampuannya berdagang menjadikannya seorang guru yang disegani karena mengetahui tatakrama dengan budaya yang beragam. Pergerakan SI yang pada awalnya sebagai bentuk protes atas para pedagang asing yang tergabung sebagai Sarekat Dagang Islam yang oleh HOS dianggap sebagai organisasi yang terlalu mementingkan perdagangan tanpa mengambil daya tawar pada bidang politik. Dan pada akhirnya tahun 1912 SID berubah menjadi Sarekat Islam

Seiring perjalanannya, SI digiring menjadi partai politik setelah mendapatkan status Badan Hukum pada 10 September 1912 oleh pemerintah yang saat itu dikontrol oleh Gubernur Jenderal Idenburg. SI kemudian berkembang menjadi parpol dengan keanggotaan yang tidak terbatas pada pedagang dan rakyat Jawa-Madura saja. Kesuksesan SI ini menjadikannya salah satu pelopor partai Islam yang sukses saat itu.

Perpecahan SI menjadi dua kubu karena masuknya infiltrasi komunisme memaksa HOS Cokroaminoto untuk bertindak lebih hati-hati kala itu. Ia bersama rekan-rekannya yang masih percaya bersatu dalam kubu SI Putih berlawanan dengan Semaun yang berhasil membujuk tokoh-tokoh pemuda saat itu seperti Alimin, Tan Malaka, dan Darsono dalam kubu SI Merah. Namun bagaimanapun, kewibaan HOS Cokroaminoto justru dibutuhkan sebagai penengah di antara kedua pecahan SI tersebut, mengingat ia masih dianggap guru oleh Semaun. Singkat cerita jurang antara SI Merah dan SI Putih semakin lebar saat muncul pernyataan Komintern (Partai Komunis Internasional) yang menentang Pan-Islamisme (apa yang selalu menjadi aliran HOS dan rekan-rekannya). Hal ini mendorong Muhammadiyah pada Kongres Maret 1921 di Yogyakarta untuk mendesak SI agar segera melepas SI merah dan Semaun karena memang sudah berbeda aliran dengan Sarekat Islam. Akhirnya Semaun dan Darsono dikeluarkan dari SI dan kemudian pada 1929 SI diusung sebagai Partai Sarikat Islam Indonesia hingga menjadi peserta pemilu pertama pada 1950.

HOS Cokroaminoto hingga saat ini akhirnya dikenal sebagai salah satu pahlawan pergenakan nasional yang berbasiskan perdagangan, agama, dan politik nasionalis. Kata- kata mutiaranya seperti ,

Setinggi-tinggi ilmu, semurni-murni tauhid, sepintar-pintar siasat

akhirnya menjadi embrio pergerakan para tokoh pergerakan nasional yang patriotik, dan ia menjadi salah satu tokoh yang berhasil membuktikan besarnya kekuatan politik dan perdagangan Indonesia. H.O.S. Cokroaminoto meninggal di Yogyakarta pada 17 Desember 1934 pada usia 52 tahun

Jika kalian ingin menjadi Pemimpin besar, menulislah seperti wartawan dan bicaralah seperti orator. 

Sumber : http://www.academia.edu

Cinta al Qur'an Selamatkan Hidup


 Boleh jadi ada yang sinis dan bahkan tidak percaya terhadap judul di atas. Namun, bagi orang yang paham Alquran apalagi yang menghayati dan mendalaminya secara substantif, pasti akan berkata, ungkapan itu benar dan amat logis. Mari kita buktikan kebenaran ungkapan itu dengan mengamati fungsi Alquran dalam kehidupan; baik secara individual, berkeluarga, bermasyarakat, maupun berbangsa dan bernegara.

Tidak asing lagi bagi kita, umat Islam, sejak diturunkannya Kitab Suci itu lebih dari 14 abad yang silam sudah dideklarasikan ke seluruh dunia bahwa dia adalah penuntun kehidupan umat manusia (QS 2:185) di manapun mereka berada. Itu artinya jika ingin selamat menjalani hidup dan kehidupan di muka bumi ini, tidak ada jalan lain kecuali mengfungsikan Alquran secara maksimal dalam realitas keseharian kita. Bagaimana caranya? Inilah yang akan dibahas di sini.

Pertanyaan yang mendasar dalam konteks ini ialah benarkah kita telah mencintai Alquran? Kalau jawabannya 'ya', berarti kita punya komitmen kuat menjadikan Alquran sebagai teman hidup kita, teman sejati, sehidup semati, seiya sekata. Di manapun berada, kita selalu bersamanya. Dalam keadaan sakit atau senang, susah atau sulit, sempit atau lapang, dan sebagainya, kita tetap bersama Alquran.

Pendek kata, manakala cinta telah bersemi, apalagi telah terpatri di lubuk hati yang paling dalam di antara dua sosok yang berkasih sayang, di antara habib dan mahbub, maka tidak ada lagi gap yang membatasi antara keduanya, apalagi yang memisahkan keduanya. Mereka selalu bersama, berinteraksi, saling senyum, saling bertegur-sapa, satu sama lain. Alangkah indahnya cinta itu.

Tapi, mari kita merenung sejenak, pejamkan mata lahir dan buka lebar-lebar mata batin (bashirah) kita, pandanglah dalam-dalam ke sanubari kita dan bertanyalah kepada diri kita masing-masing, betulkah kamu wahai diriku telah mencintai Alquran? Mengapa kamu tidak bertegur-sapa dengannya sebagai layaknya dua insan yang bercinta yakni dengan membaca dan merenungkan pesan-pesannya?

Tanyakan juga mengapa kamu biarkan dia tergeletak sendirian di rak-rak buku, kedinginan, tanpa kamu temani, kamu sentuh, apalagi kamu peluk dan cium bagaikan kekasih tersayang? Bukankah Ramadhan ini dijuluki Rasul sebagai Syahrul Qur’an bulan bermesraan dengan Alquran? Paling tidak kamu bercengkrama, bermesraan dengannya setiap malam dengan bertadarus secara tartil serta memahami bisikan-bisikan hidayah yang diembuskannya ke nuraninya minimal kamu baca satu juz sehingga di akhir Ramadhan nanti kamu pasti khatam satu kali.

Wahai diriku yang malang! Kalau kamu memang mencintai Alquran, mengapa kamu tidak beranjak sedikit pun ketika dia meminta kamu berhenti berbuat maksiat, malah sebaliknya, kamu doyan melakukannya, sehingga korupsimu makin menjadi-jadi, kolusimu tidak tanggung-tanggung, bahkan prostitusi kamu lakukan terang-terangan tanpa rasa malu sedikit pun. Masih pantaskah kamu disebut kekasih Alquran atau lebih pantas kamu dijuluki pecundang Alquran?

Tidak hanya itu kawan! kamu pun tidak bersemangat melakukan amar makruf yang dimauinya. Fakir miskin kamu biarkan telantar, pengangguran tidak kamu pedulikan; sehingga mereka terpaksa mencari sesuap nasi ke negeri orang di luar negeri, menjadi TKW, dan sebagainya. Sampai di sana bukannya mendapatkan kesejahteraan, malah pulang ke kampung membawa penderitaan setelah diperkosa oleh majikannya.

Kalaupun sekali-kali kamu ikuti kemauan Alquran sebagai kekasihmu, itu pun dibarengi interes-interes pribadi yang konyol. Misalnya kalau mau maju sebagai capres, caleg, cagub, cabub, cawalkot, atau apa pun posisinya, maka kamu membagi-bagi sembako, perbaikan jalan kampung, sering ke posyandu, bantu masjid, sekolah, majelis taklim, dan sebagainya. Singkat cerita kamu berusaha mendekat kepada rakyat sedekat-dekatnya agar mereka menjatuhkan pilihan kepada dirimu untuk memenangkan pemilihan yang akan diadakan.

Setelah menang, kamu kembali lagi ke habitatmu: tidak peduli dengan mereka. Kemudian setelah 5 (lima) tahun berlalu, kamu pun kembali lagi kepada mereka untuk meminta dukungan, begitulah siklusnya perilakumu. Masih pantaskah kamu disebut cinta Alquran?

Sungguh teramat naif jika kamu masih berani mengaku kekasih Alquran padahal perilakumu sedikit pun tidak mengejawantahkan rasa cinta itu. Malah sebaliknya terkesan merongrong dan menghalanginya, bahkan secara faktual tampak menanamkan kebencian terhadapnya.

Apabila bangsa kita benar-benar mencintai Alquran dalam arti yang sesungguhnya dan dari lubuk hati yang paling dalam, maka tidak diragukan lagi, bangsa ini pasti bangkit kembali dan akan meraih kemajuan yang amat pesat di masa mendatang. Hal itu dimungkinkan karena tidak akan ada lagi kejahatan; baik kejahatan moral, kejahatan ekonomi, maupun kejahatan kemanusiaan.

Itulah inti tuntunan Alquran. Jadi, benarlah ungkapan, "Cinta Alquran penyelamat hidup." Demikian sekelumit renungan dalam memperingati malam Nuzul Alquran.


Red: Heri Ruslan

REPUBLIKA.CO.ID, 

Oleh Prof Nashruddin Baidan*

*Guru Besar Ilmu Tafsir dan Direktur Pascasarjana IAIN Surakarta

Cinta al Qur'an, Indikator Kedekatan Hamba dengan ALLAH SWT

 Alquran akan menjadi syafaat kelak di akhirat bagi mereka yang membacanya.

bersahabat dengan al Qur'an

Disebutkan dalam hadits yang diriwayatkan Ali bin Thalib, bahwa barangsiapa yang mempelajari Alquran maka ia telah menyimpan ilmu kenabian dalam kepalanya. 

Sahal Tusturi mengatakan, "Tanda tanda cinta kepada Allah SWT adalah tertanamnya rasa cinta terhadap Alquran di dalam hati." 

Diterangkan dalam Syarah Al-Ihya bahwa di antara golongan orang yang mendapat naungan Arsy Ilahi ketika hari kiamat yang penuh ketakutan adalah orang yang mengajarkan Alquran kepada anak-anak dan orang yang mempelajari Alquran ketika anak-anak dan selalu membaca hingga masa tuanya.

عَنْ عُثْمَانَ بْنِ عَفَّانَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ النَّبِىُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: خَيْرُكُمْ مَنْ تَعَلَّمَ الْقُرْآنَ وَعَلَّمَهُ  

Dari Utsman bin Affan, Baginda Rasulullah SAW bersabda, "Sebaik-baik kamu adalah orang yang belajar Alquran dan mengajarkannya." (HR Bukhari, Abu Dawud, Tirmidzi, Nasa'i, Ibnu Majah, dari Kitab At-Targhib). 

Syekh Muhammad Zakariyya Al-Kandahlawi, dalam kitabnya Fadhilah Amal menjelaskan tentang faedah hadits tersebut, dalam sebagian besar kitab, kata dia, hadits ini diriwayatkan dengan menggunakan huruf (waw artinya dan) sebagaimana terjemah di atas.  

Maka keutamaan yang disebutkan menurut terjemah di atas diperuntukkan bagi orang yang belajar Alquran "dan" selepas itu mengajarkannya kepada orang lain. Namun, dalam beberapa kitab lainnya ada yang diriwayatkan dengan menggunakan huruf (aw maknanya atau).

Sehingga apabila diterjemahkan akan memiliki arti, "yang terbaik adalah yang belajar Alquran atau yang mengerjakan Alquran." Masing-masing dari keduanya memiliki kebaikan dan keutamaan tersendiri. 

Alquran, kata, Muhammad Zakariyya merupakan inti agama. Menjaga dan menyebarkannya berarti menegakkan agama, Sehingga sangat jelas keutamaan mempelajari dan mengajarkannya meskipun bentuknya berbeda-beda. 

Derajat yang paling sempurna dalam mempelajari maksud dan kandungannya. "Derajat yang terendah adalah hanya mempelajari bacaannya saja," katanya. 

Hadits di atas yang disampaikan (Dari Sayyidina Utsman bahwa Baginda Rasulullah mengatakan sebaik-baik kamu adalah orang yang belajar Alquran dan mengajarkannya) ini dikuatkan dengan hadits mursal yang diriwayatkan oleh Syekh Said bin Sulaim yaitu Baginda Rasulullah bersabda.

"Barangsiapa yang telah mempelajari Alquran tetapi ia menganggap bahwa orang lain yang diberi kelebihan lain (kenikmatan dunia) lebih utama dari nya berarti ia telah meremehkan nikmat Allah yang dikaruniai kepadanya."

Hadits mursal adalah hadits yang diriwayatkan seorang tabiin, dari Rasulullah SAW tetapi tanpa menyebut perawi sahabat

Singa dan Gembala

 


Seekor singa yang sedang berjalan-jalan di hutan tiba-tiba menginjak duri yang kemudian menancap di kakinya. Tidak lama kemudian seorang Gembala lewat. Si Singa menunduk, dan menggoyangkan ekornya perlahan, sambil menunjukkan kakinya yang tertancap duri itu, seakan-akan ingin berkata “Aku mohon, tolonglah aku.” Gembala yang pemberani itu lalu mendekat dan memeriksa kakinya. Dia menemukan duri yang menancap itu, lalu mencabutnya dengan hati-hati. Si Singa merasa lega karena duri yang menyakitkan itu sudah hilang. Dia lalu melangkah kembali ke dalam hutan.

Beberapa bulan kemudian, si Gembala mendapatkan masalah. Dia ditahan karena dituduh melakukan kejahatan yang sebenarnya tidak pernah dilakukannya. Dia lalu akan dihukum mati, dengan cara “dimasukkan ke kandang singa yang ganas.” Tapi ketika si Gembala dimasukkan ke dalam kandang singa, singa itu tidak menyerangnya. Singa itu bahkan mendekati si Gembala, dan menaruh kakinya di pangkuannya. Ternyata singa itu adalah si Singa yang pernah ditolongnya dengan mencabut duri dari kakinya.

Kejadian yang aneh itu beritanya menyebar ke seluruh kerajaan. Bahkan, sang Raja juga mendengar tentang kejadian itu. Dia lalu memerintahkan supaya si Singa dilepaskan kembali ke hutan, dan si Gembala dibebaskan dari hukuman.

Pelajaran yang dapat diambil dari dongeng ini: 

Kebaikan akan mendapatkan kebaikan sebagai balasannya.

Dongeng untuk anak ini diadaptasi dari fabel klasik karya Aesop berjudul “The Lion and the Shepherd.