Pendidikan Melahirkan Generasi Gelisah dan Bingung
MENGAPA PENDIDIKAN MELAHIRKAN GENERASI GELISAH DAN BINGUNG?
Oleh: Dr. Adian Husaini
Pada hari Jumat (22 Ramadhan 1441 H/15 Mei 2020), program Kuliah Ramadhan Jelang Berbuka (Kurma Langka) memasuki hari ke-22. Saya membahas topik berjudul: “Menentukan Tujuan dan Kurikulum Pendidikan Tingkat SMP”.
Topik ini sangat penting, sebab usia SMP (sekitar usia 12-15 tahun) adalah masa persiapan anak menjadi dewasa (akil-baligh). Ketika berusia 15 tahun, anak sudah harus ditetapkan sebagai “orang dewasa”. Ia bukan anak-anak lagi, karena telah menjadi “mukallaf”. Artinya ia sudah terkena beban kewajiban menjalankan ajaran-ajaran Islam. Ia sudah harus beriman dengan benar, beribadah, dan berakhlak dengan benar pula.
Jadi, tujuan utama pendidikan tingkat SMP adalah menyiapkan anak menjadi dewasa. Itu yang utama. Sesuai dengan prinsip pendidikan Islam, maka anak harus dididik – utamanya – dengan cara menanamkan adab dalam dirinya. Lalu, anak dididik agar mengutamakan ilmu-ilmu fardhu ain. Setelah itu, dipilih ilmu fardhu kifayah yang sesuai dengan potensi anak dan kebutuhan masyarakat.
Abdullah bin Umar r.a. berkisah, ia baru diijinkan perang oleh Rasulullah saw setelah berusia 15 tahun. Berdasarkan hadits riwayat Imam Bukhari, Khalifah Umar bin Abdul Aziz berkata, “Usia ini (15 tahun) adalah batas antara anak-anak dan dewasa.” Khalifah perintahkan para gubernur memberi tunjangan kepada siapa saja yang telah mencapai usia 15 tahun.”
Jadi, usia 15 tahun adalah batas akhir anak-anak. Karena itu, kurikulum pendidikan tingkat SMP harus memberikan bekal agar anak-anak nanti beradab kepada Allah, Rasul-Nya, para ulama, orang tua, guru, dan sebagainya. Juga, mereka juga harus sudah memahami dan melaksanakan adab dalam ibadah, khususnya shalat lima waktu, membaca al-Quran, berzikir, dan sebagainya.
Yang tidak kalah pentingnya, di tingkat SMP, anak-anak itu disiapkan menjadi pejuang dakwah yang siap menghadapi aneka tantangan pemikiran modern yang dapat merusak keimanan dan akhlaknya. Setelah menguasai adab dan ilmu-ilmu fardhu ain yang diperlukan, maka sang anak perlu dibekali dengan ilmu-ilmu yang sifatnya fardhu kifayah, seperti matematika, sains, bahasa Inggris, dan sebagainya.
Gelisah dan bingung!
Yang jadi tantangan berat bagi orang tua dan guru, dalam dunia pendidikan saat ini, ditetapkan bahwa anak-anak usia 12-15 tahun masih dimasukkan kategori “remaja”, belum dianggap memasuki usia dewasa. Sebagai contoh, dalam buku Psikologi Perkembangan karya Elizabeth Hurlock – yang banyak dirujuk para psikolog di Indonesia – disebutkan awal masa remaja adalah sekitar usia 13-16 tahun. Sedangkan akhir masa remaja sekitar 16-18 tahun. Hurlock menyebut, masa remaja sebagai periode peralihan, usia bermasalah, masa mencari identitas, usia yang menimbulkan ketakutan, dan masa yang tidak realistis.
Hurlock antara lain menulis: “Dengan semakin mendekatnya usia kematangan yang sah, para remaja menjadi gelisah untuk meninggalkan stereotip belasan tahun dan untuk memberikan kesan bahwa mereka sudah hampir dewasa. Berpakaian dan bertindak seperti orang dewasa ternyata belumlah cukup. Oleh karena itu, remaja mulai memusatkan diri pada perilaku yang dihubungkan dengan status dewasa, yaitu merokok, minum minuman keras, menggunakan obat-obatan (terlarang), dan terlibat dalam perbuatan seks. Mereka menganggap bahwa perilaku ini akan memberikan citra yang mereka inginkan.” (Lihat, Elizabeth B. Hurlock, Psikologi Perkembangan (Terj.), Jakarta: Erlangga, edisi kelima, hlm. 206-209).
Dalam buku berjudul “Psikologi Remaja: Perkembangan Peserta Didik” (Jakarta: Bumi Aksara, 2017, cetakan ke-12), karya Prof. Dr. Mohammad Ali dan Prof. Dr. Mohammad Asrori, disebutkan bahwa masa remaja berlangsung antara umur 12-21 tahun. Di AS, individu baru dianggap dewasa setelah usia 18 tahun.
Ditulis dalam buku Psikologi Remaja tersebut: “Karakteristik umum perkembangan remaja adalah bahwa remaja merupakan peralihan dari masa anak menuju masa dewasa sehingga seringkali menunjukkan sifat-sifat karakteristik, seperti kegelisahan, kebingungan, karena terjadi suatu pertentangan, keinginan untuk mengkhayal, dan aktivitas kelompok.” (hlm. 19).
Jadi, menurut konsep pendidikan yang diterapkan, pendidikan pada tingkat SMP, para siswa belum disiapkan menjadi dewasa. Sebab, anak-anak baru dianggap dewasa setelah umur 18 tahun. Bahkan ada yang menetapkan 21 tahun. Karena itu, meskipun sudah dewasa atau sudah mukallaf (15 tahun), para siswa itu dimaklumi saja jika mereka masih gelisah dan bingung. Sebab, katanya, itu ciri-ciri khas remaja! “Masa remaja seringkali dikenal dengan masa mencari jati diri,” tulis buku ini.
Dalam perspektif Islam, sepatutnya anak-anak yang memasuki 15 tahun, mereka bukan lagi anak-anak atau remaja. Tapi, mereka sudah dewasa, sehingga pada pendidikan tingkat SMP, mereka harus disiapkan menjadi manusia yang “akil-baligh”. Ketika itulah anak-anak sudah terbebani untuk menjalankan ajaran-ajaran Islam.
Jika konsep manusia yang digunakan untuk mendidik sudah keliru, maka tidak mudah untuk mendidik dengan benar. Sebab, tujuan dan kurikulum utamanya akan berbeda. Konsep yang salah tentang manusia ini akan berdampak besar pada perjalanan hidupnya.
Merujuk pada konsep remaja tersebut, maka anak-anak tingkat SMP sengaja dididik supaya tidak menjadi dewasa yang matang sikap dan pemikirannya. Sebab, para guru, orang tua, juga anak-anak sudah didoktrin dengan “teori remaja”, bahwa pada umumnya anak-anak pada usia 12-18 tahun memiliki ciri-ciri utama: gelisah dan bingung!
Dalam al-Quran, hadits Nabi, dan sejarah Islam, banyak ditemukan contoh-contoh anak-anak usia belasan tahun yang sudah matang jiwanya, serta dewasa dalam pemikiran dan perilakunya. Mereka tidak gelisah dan bingung. Inilah pentingnya kita memahami konsep manusia dengan benar, sehingga bisa menerapkan konsep pendidikan dengan benar pula. Dengan begitu, pendidikan kita tidak melahirkan generasi bingung dan gelisah! Wallahu A’lam bish-shawab. (Depok, 23 Ramadhan 1441 H/16 Mei 2020).